Prof. Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Badan Informasi Geospasial
Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie.
Ada seorang pejabat tinggi yang gemar bertanya seperti ini, “Kalau kita bicara Korea, kita ingat ponsel merk Samsung atau mobil merk Hyundai. Suatu national brand, yang terbentuk dari riset bermutu yang berkelanjutan. Nah, setelah 74 tahun merdeka, apa riset Indonesia yang telah menghasilkan national brand? Benar kita punya produk-produk yang dikenal dunia. Kita punya Batik. Kita punya Borobudur. Namun itu bukan hasil riset kalian !”
Bagi kami para peneliti, pertanyaan retoris itu terasa seperti perundungan (bullying). Dunia riset itu sangat luas, sebagaimana ragam latar belakang penelitinya. Ada peneliti kebencanaan. Penemuannya tentu saja tidak bisa dijual, diekspor apalagi menjadi national brand. Ada peneliti antropologi kearifan masyarakat adat. Tak ada yang bakal bisa dijual. Kecuali menemukan zat anti kanker seperti pohon Bajakah baru-baru ini. Tapi itu ranah peneliti farmasi, dan jalannya masih panjang. Bahkan peneliti aeronautika di PT-DI dan LAPAN yang sudah berhasil mencipta pesawat N-219 pun, sekalipun berpotensi jadi national brand, jalannya masih sangat terjal dan panjang !
Kemenristekdikti telah membuat Prioritas Riset Nasional (PRN) dan dunia riset suka tidak suka dipaksa mengacu ke sana. Tujuannya agar riset kita bisa fokus, dan ada hasil yang benar-benar bermanfaat untuk negeri ini. Menghasilkan national brand. Benar juga.
Masalahnya, bagi para peneliti sering ada jarak antara lingkaran “Apa saja yang dunia butuh dari kita?” dengan lingkaran-lingkaran “Apa saja yang kita bisa?”, “Apa yang kita suka?” serta “Apa yang kita bisa dapat devisa?”.
Apa yang tertulis di PRN baru memenuhi lingkaran pertama “Apa saja yang Indonesia butuh dari kita”. Dan itu memang tugas para politisi untuk memberikan arah. Adapun lingkaran kedua “Apa saja yang kita bisa?” adalah tugas dunia pendidikan. Dan kita tahu, dunia pendidikan kita belum optimal. Belum semua yang memiliki bakat, mendapatkan pendidikan atau mentor sesuai bakatnya.
Sudah begitu, mereka yang akhirnya menyelesaikan pendidikannya, bahkan sampai jenjang tertinggi, kadang ternyata tidak menyukai dunianya. Mereka akhirnya lebih totalitas dalam menjalankan hobby atau aktivitas sosialnya. Bukan profesinya. Lingkaran “apa yang kita suka” dipengaruhi oleh teladan dari para terkemuka, budaya lingkungan kerja, juga trend pop-culture dunia, . Adalah tugas media massa, budayawan, bahkan rohaniawan untuk memberi arah “apa yang kita suka” bagi bangsa ini pada umumnya, dan para peneliti pada khususnya.
Andaikata para peneliti sudah dididik sesuai bakatnya, lalu bekerja dalam lingkungan kondusif yang dia suka, mengerjakan topik yang memang dibutuhkan Indonesia, masih ada satu lagi persoalan: apakah topik itu benar-benar bisa menghasilkan uang atau devisa, sehingga layak negara berinvestasi di dalamnya?
Pengalaman di masa lalu: Tahun 1995 PT DI meluncurkan pesawat N-250, type yang tepat untuk menghubungkan pulau-pulau di Nusantara saat ini, dikerjakan oleh anak-anak bangsa yang sangat berbakat dan antusias, namun kini harus merana karena tidak laku.
Lingkar terakhir ini ada di tangan para pelaku ekonomi, bahkan sebagian pelaku global. Pada 1998, kita tak kuasa mencegah, ketika George Soros bermain Rupiah di pasar valas yang membuat kita terseret krisis moneter. Saat ini, aturan main kapitalisme global belum berubah.
Irisan keempat lingkaran ini, dalam falsafah Jepang disebut “ikigai”. Di sinilah kita berada di puncak optimal. Untuk konteks Indonesia bisa ditambah satu lagi: “keberkahan”, lingkaran spiritual yang tercermin dalam falsafah bangsa: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kalau para peneliti Indonesia berhasil menemukan atau ditemukan dengan ikigai-nya, tentu masa depan riset di Indonesia akan lebih cerah.
Politik riset Indonesia telah membuat PRN yang membatasi lingkaran “Apa yang paling dibutuhkan Indonesia saat ini?”. Namun PRN saja, atau dengan penggabungan semua lembaga litbang dalam Badan Riset Nasional, juga pasti belum cukup.
Dunia pendidikan sejak usia dini hingga tinggi sudah saatnya juga menyiapkan kurikulum yang adaptif, yang semua peserta didik mampu memaksimalkan prestasinya, ketika fokus mempelajari sesuatu yang sesuai bakatnya dan juga dibutuhkan Indonesia.
Jangan sampai, mereka kemudian justru “dibajak” negeri asing. Ada banyak negeri dengan iklim riset yang kondusif – dan ini lebih dari sekedar penghasilan yang memadai – membuat mereka betah, merasa diperlukan, dan output mereka pun diakui di seluruh dunia.
Di negara berkembang, orang-orang berbakat istimewa, kadang menjadi tak suka berkarya di sana, ketika melihat budaya kerja hingga atmosfir politik yang kurang bersahabat. Sebagian dari mereka akhirnya sekalian terjun menjadi politisi. Ada juga yang mencari peluang kerja atau usaha yang lebih menjanjikan secara ekonomi. Lainnya memutuskan mencari ladang yang lebih “hijau” di negeri orang. Anehnya, yang terakhir ini kadang akan dihargai lebih tinggi sebagai “diaspora” dibanding rekan-rekannya yang benar-benar berjuang di bumi pertiwi.
Agregasi karya-karya peneliti yang telah mencapai ikigai ini berpotensi membentuk national brand, “Apa saja yang Indonesia bisa”. Tapi agar itu efektif, tentu bangsa ini sendiri mesti menyukainya, baik saat membuat maupun saat memanfaatkannya. Alangkah ganjilnya menjual brand nasional, tetapi sehari-hari menggunakan brand asing. Korea bahkan telah mempromosikan produk teknologinya dengan budaya pop mereka.
Meski Indonesia kini telah 74 tahun, namun sesuai pemeo “Tua itu pasti, dewasa itu pilihan”, kita pantas introspeksi. Kedewasaan ditandai dengan berpikir luas (multi aspek), mendalam (detil) dan jauh ke depan (visioner).
Berpikir ikigai seharusnya membuat para negarawan merenung, “Apa sebenarnya yang dibutuhkan Indonesia dalam 25 atau bahkan 100 tahun ke depan?”. Lalu “Bangsa ini punya bakat yang bagus di bidang apa saja?”. Juga “Apa yang membuat bangsa ini suka?”. Dan terakhir “Apakah dengan itu bangsa ini akan sejahtera?”.
(Republika, 27 Agustus 2019)