Prof Rhenald Kasali
Senin, 18 Mei 2015 | 05:00 WIB
Rhenald Kasali
@Rhenald_Kasali
@Rhenald_Kasali
KOMPAS.com - Duduk di depan
saya dua perempuan muda. Sarjana Hukum lulusan UI. Wajah dan penampilan kelas
menengah, yang kalau dilihat dari luar punya kesempatan untuk “cepat kaya”.
Asal saja mereka mau bekerja di firma hukum papan atas yang sedang makmur,
seperti impian sebagian kelas menengah yang memanjakan anak-anaknya.
Tapi keduanya memilih bergabung dalam
satgas pemberantasan illegal fishing yang dipimpin aktivis senior: Mas Achmad
Santosa. Dari foto-foto yang ditayangkan Najwa Shihab, tampak mereka tengah
menumpang sekoci kecil mendatangi kapal-kapal pencuri ikan. Dari Ambon, mereka
menuju ke Tual, Benjina, dan pusat-pusat penangkapan ikan lainnya di Arafura.
Itu baru permulaan. Sebab, pencurian
besar-besaran baru akan terjadi dua-tiga bulan ke depan. Dan mereka, para
pencuri itu, datang dengan kapal yang lebih besar. Bahkan mungkin dengan
“tukang pukul” yang siap mendorong mereka ke laut menjadi mangsa ikan-ikan
ganas.
Uang atau Meaning?
Di luar sana, anak-anak muda lainnya
setengah mati cari kerja. Ikut seleksi menjadi calon PNS, pegawai bank,
konsultan IT, guru, dosen dan seterusnya.
Seperti kebanyakan kaum muda lainnya,
mereka semua didesak keluarga agar cepat mendapat pekerjaan, membantu keuangan
keluarga, dan menikah pada waktunya. Cepat lulus, dan dapat pekerjaan yang
penghasilannya bagus.
Tak sedikit di antara mereka yang
beruntung bertemu orang-orang hebat, dari perusahaan terkemuka, mendapatkan
pelatihan di luar negeri, atau penempatan di kota-kota besar dunia.
Tetapi semua itu akan berubah. Sebab
atasan yang menyenangkan tak selamanya duduk di sana. Kursi Anda bisa berpindah
ke tangan orang lain. Kaum muda akan terus berdatangan dan ilmu-ilmu baru terus
berkembang. Bulan madu karier pun akan berakhir. Mereka akan tampak tua di mata
kaum muda yang belakangan hadir.
Sebagian dari mereka juga ada yang
menjadi wirausaha. Tidak sedikit yang tersihir oleh kode-kode yang dikirim
sejumlah orang tentang jurus-jurus cara cepat menjadi kaya raya. Bisa saja
mereka berhasil meraih banyak hal begitu cepat. Tetapi benarkah mereka berhasil
selama-lamanya?
Pengalaman saya menemukan, orang-orang
yang dulu begitu getol mencari uang kini justru tak mendapatkan uang. Di usia
menjelang pensiun, semakin banyak orang yang datang mengunjungi teman-teman
lama sekedar untuk mendapatkan pinjaman. Sebagian lagi hanya bisa sharing
senandung duka.
Kontrak rumah dan uang kuliah anak yang
belum dibayar, pasangan yang pergi meninggalkan keluarga dan serangan penyakit
bertubi-tubi. Padahal dulu mereka begitu getol mengejar gaji besar,
berpindah-pindah kerja demi kenaikan pendapatan.
Saya ingin membeitahu anda nasehat yang
pernah disampaikan oleh Co-Founder Apple: Guy Kawasaki kepada kaum muda ia
pernah mengatakan begini:
“Kejarlah meaning. Jangan kejar karier
demi uang. Sebab kalau kalian kejar uang, kalian tidak dapat ‘meaning’, dan
akhirnya tak dapat uang juga. Kalau kalian kejar ‘meaning’ maka kalian akan
mendapatkan position, dan tentu saja uang.”
Lantas apa itu meaning?
Meaning itulah yang sedang dikerjakan
anak-anak perempuan tadi yang saya temui dalamtapping program televisi Mata
Najwa edisi hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei beberapa hari ke depan.
Menjadi relawan dalam team pemberantas illegal fishing.
Dan itu pulalah yang dulu dilakukan oleh
para mahasiswa kedokteran di STOVIA yang mendirikan Boedi Oetomo yang
menandakan Kebangkitan Nasional Indonesia. Bahkan itu pula yang dijalankan oleh
seorang insinyur lulusan ITB yang merintis kemerdekaan Indonesia, Ir.
Soerkarno. Itu pula yang dilakukan para CEO terkemuka saat mereka muda.
Di seluruh dunia, para pemimpin itu
lahir dari kegigihannya membangun meaning, bukan mencari kerja biasa. Dalam
kehidupan modern, itu pulalah jalan yang ditempuh para miliarder dunia. Mereka
bukanlah pengejar uang, melainkan pengejar mimpi-mimpi indah. Seperti yang
diceritakan oleh banyak eksekutif Jerman yang dulu menghabidkan waktu
berbulan-bulan kerja sosial di Afrika. "Tidak saya duga, apa yang saya
lakukan 20 tahun lalu itulah yang diperhatikan pemegang saham," ujar
mereka.
Saya jadi ingat dengan beberapa orang
yang mencari kerja di tempat saya, baik di UI maupun di berbagai aktivitas
saya. Ada yang benar-benar realistis, datang dengan gagasan untuk membangun
meaning dan ada yang sudah tak sabaran mendapatkan gaji besar.
Kelompok yang pertama, sekarang bisa
saya sebutkan mereka berada di mana saja. Sebagian sudah menjadi CEO, pemimpin
pada berbagai organisasi dan tentu saja wirausaha yang hebat atau Ph.D lulusan
universitas terkemuka.
Namun kelompok yang kedua, datang dengan
tawaran yang tinggi. Ya, mereka menilai diri jauh lebih tinggi dari kemampuan
mereka. Dan tak jarang ada yang diminta berhenti oleh keluarganya hanya
beberapa bulan setelah bekerja, demi mencari pekerjaan yang gajinya lebih besar.
Amatilah mereka yang baru menikah. Kalau bukan pasangannya, bisa jadi orangtua
atau mertua ikut mengubah arah hidup dan merekapun masuk dalam pusaran itu.
Padahal, semua orang tahu orang yang
mengejar meaning itu menjalankan sesuatu yang mereka cintai dan menimbulkan
kebahagiaan. Dan bahagia itu benih untuk meraih keberhasilan. Orang yang
mengejar gaji berpikir sebaliknya, kaya dulu, baru bahagia. Dan ini tumbuh
subur kala orang dituntut lingkungannya untuk mengkonsumsi jauh lebih besar
dari pendapatan.
Sebaliknya, mereka yang
membangunmeaning, tahu persis, musuh utama mereka adalah konsumsi yang melebihi
pendapatan.
Potret Diri
Kalau saya merefleksikan ke belakang
tentang hal-hal yang saya jalani dalam hidup saya, maka dapat saya katakan saya
telah menjalani semua yang saya sebutkan di atas. Sementara teman-teman yang 30
tahun lalu memamerkan kartu kreditnya (saat itu adalah hal baru bagi bangsa
ini), pekerjaan dengan gaji besar, jabatan dan seterusnya, kini justru tengah
mengalami masa-masa yang pahit.
Seorang pengusaha besar mengatakan
begini: “Uang itu memang tak punya mata, tetapi mempunyai penciuman. Ia tak
bisa dikejar, tapi datang tiada henti pada mereka yang meaning-nya kuat.”
Di dinding perpustakaan kampus Harvard
saya suka tertegun membaca esay-esay singkat yang ditulis oleh para aplikan
yang lolos seleksi. Dan tahukah Anda, mereka semua menceritakan perjalanan
membangunmeaning. Maka saya tak heran saat Madame Sofia Blake, istri duta besar
Amerika Serikat di sini berkunjung ke Rumah Perubahan minggu lalu, ia pun
membahas hal yang sama untuk membantu 25 putra-putri terbaik Indonesia agar
bisa tembus diterima di kampus utama dunia.
Meaning itu adalah cerita yang melekat
pada diri seseorang, yang menciptakan kepercayaan, reputasi, yang akhirnya
itulah yang anda sebut sebagai branding. Anda bisa mendapatkannya bukan melalui
jalan pintas atau lewat jalur cara cepat kaya.
Meaning itu dibangun dengan cara yang
berbeda dari yang ditempuh pekerja biasa. Dari terobosan-terobosan baru. Dan
kadang, dari bimbingan orang-orang besar yang memberikan contoh dan mainan
baru. Ya, contoh dan mainan itulah yang perlu kita cari, dan
terobosan-terobosan yang kita lakukan kelak memberikan jalan terbuka.
Selamat mencoba. Selamat hari
Kebangkitan Nasional. Jangan lupa pemuda yang dulu membangkitkan kesadaran
berbangsa di negri ini adalah juga para pembangun meaning.
Prof. Rhenald Kasali adalah Guru Besar
Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
No comments:
Post a Comment